Senin, 14 November 2016

OPINI PUBLIK 4 NOVEMBER 2016





Nama   : Bunga Regina Putri
NPM    : C1021511RB1014
Jurusan : S1 Ilmu Komunikasi



Dampak dari pernyataan Ahok yang mengutip Al-Maidah ayat 51 semakin rumit. Beberapa organisasi Islam menggelar aksi demonstrasi 4 November 2016 kemarin. Tuntutan utama dari demonstrasi tersebut adalah adili dan penjarakan Ahok. Rencana demonstrasi ini semakin menjadi aksi masif karena ketua FPI terus-menerus mengajak dan menyerukan muslim diseluruh penjuru Indonesia untuk bergabung dalam demonstrasi tersebut atas nama agama dan negara.

Aksi demontrasi 4 November tersebut dimaknai secara beragam. Sebagian besar masyarakat Indonesia khawatir dampak dari demonstrasi besar-besaran tersebut, mengingat sudah banyak terjadi kasus kekerasan dan kerusuhan setelah demonstrasi besar-besaran yang sebelumnya pernah terjadi. Kekhawatiran ini sangat terasa, meskipun Rizieq sebagai ketua FPI telah mengatakan bahwa demonstrasi ini tidak digelar dengan tujuan politik atau anti-Tiongkok. Akan tetapi, banyak masyarakat Indonesia masih percaya bahwa demonstrasi ini dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini semakin menambah variasi respon masyarakat menjelang datangnya tanggal 4 November 2016.

Kekhawatiran ini masuk akal, mengingat saat ini telah memasuki masa kampanye Gubernur DKI. Dimana Ahok, sebagai tokoh sentral yang disasar demonstrasi ini adalah salah satu kandidat calonan gubernur DKI. Artikel ini pada dasarnya ingin mendiskusikan bagaimana demonstrasi di negara ini dimaknai sebagai bagian dari proses demokrasi. Demokrasi memerlukan partisipasi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini sesuai dengan ide dasar demonstrasi yaitu menyampaikan pendapat dan mengekspresikan ide-ide. Akan tetapi, fakta yang sangat disayangkan adalah bahwa demonstrasi ni justru sebagian besar digunakan sebagai alat untuk memaksakan kehendak tertentu kelompok tertentu massa, tanpa urgensi dan validitas atas apa yang mereka klaim.

Demonstrasi juga didefinisikan sebagai ekspresi kebebasan berpendapat, aspirasi dan kritik dari kebijakan keadilan dengan tujuan untuk membela kebenaran. Oleh karena itu, dalam bertindak, demonstran harus menunjukkan sikap kritis dengan cara yang intelektual, elegan, dan bijaksana. Para demonstran harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika (sesuai norma), analisis (memahami akar masalah), dan pernyataan kontributif sebagai masukan dan saran terhadap apa yang tidak disetujui.

Mengingat bahwa demonstrasi secara umum dilakukan dengan berbicara di depan publik, sudah seharusnya demonstran menjunjung tinggi nilai, norma, budaya, dan etika bangsa. Demonstran juga diharuskan mematuhi aturan-aturan hukum untuk mencegah kerusakan yang tidak seharusnya dan kekacauan yang tidak perlu demi masyarakat, bangsa, dan negara. Akan tetapi, fakta yang ditunjukkan kegiatan demonstrasi-demonstrasi sebelumnya justru menunjukkan sebaliknya. Perilaku-perilaku anarkis yang bertemu dengan tindakan represif aparat keamanan justru menyisakan kehancuran dan kekacauan yang mendorong jatuhnya banyak korban di akhir kegiatan.

Demonstrasi pada dasarnya menjadi tindakan yang wajar di negara demokrasi seperti Indonesia, sebagai konsekuensi sistem pemerintahan yang demokratis. Setiap warga negara diberikan hak kebebasan berbicara dan memberikan kritik serta masukan, bahkan terhadap kebijakan presiden. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat harus mengandalkan etika dan sopan santun. Hal ini bukan berarti bahwa atas nama demokrasi maka semua orang bisa turun ke jalan untuk melakukan tindakan anarkis, mengganggu lalu lintas, dan merusak kepentingan umum dengan menyanyikan lagu kebenaran dan keadilan.

Dari uraian di atas, dapat diperoleh pemahaman penting bahwa demonstrasi adalah salah satu bentuk refleksi dari sistem demokrasi. Oleh karena itu, sebagai warga negara, kita harus memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang benar, bahkan kita harus mengembangkan semangat mengkritik kebijakan pemerintah selama itu adalah kebutuhan nyata dan tidak mencederai demokrasi dengan melakukan demonstrasi tanpa tahu tujuan di balik itu.

Opini Publik tentang demo 4 November 2016 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, kalimat tersebut secara tegas dan jelas tertera pada Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sudah menjadi konsekuensi dari pasal tersebut bahwa Indonesia harus menjunjung tinggi kepastian hukum dan supremasi hukum. Hal ini terkait dengan pembicaraan dan perdebatan yang terjadi baik di masyarakat maupun di media sosial perihal dugaan penistaan agama yang pada akhirnya bertitik puncak pada hari Jumat, 4 November 2016 di Ibukota Jakarta.

Sayangnya opini publik yang terjadi sangatlah keluar dari konteks inti akar permasalahan, permaslaahan yang terjadi bukanlah perihal mayoritas atau minoritas yang ada di Indonesia, bukan permasalahan perpecahan atau persatuan Indonesia, juga bukan permasalahan kepentingan politik segelintir pihak. Karena permasalahan yang sebenarnya sedang terjadi adalah perihal dugaan perbuatan pidana. Namun sayangnya dugaan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh sosok yang tengah disorot oleh jutaan mata masyarakat Indonesia.

Saya bukannya sok pintar atau sok akademis, saya mencoba mengambarkan bagimana pandangan saya sebagai mahasiswa fakultas hukum. Saya mencoba mengkaji peraturan perundang-undangan terkait, ada beberapa hal yang perlu dipahami dan digaris bawahi bersama ialah perkataan yang dikatakan oleh BTP secara lengkap ialah:

Jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak/ibu tidak bisa pilih saya, ya kan karena dibohongin pakai surat Al-Maidah:5 macem-macem itu, itu hak bapak/ibu ya, jadi kalau perasaan, gabisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gapapa karena itu panggilan pribadi bapak/ibu

Adapun perbuatan pidana yang disangkakan nyatanya telah diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selanjutnya disebut UU No.1/PNPS/1965. Dalam UU No.1/PNPS/1965 juga menambahkan satu buah pasal kedalam KUHP yakni Pasal 156a. sehingga pada akhirnya terdapat 2 buah peraturan perundang-undangan yang menyinggung mengenai tindak pidana penistaan agama baik didalam maupun diluar KUHP.
Sebagai mahasiswa fakultas hukum saya mencoba menjabarkan unsur delik dari perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana tersebut akan kita bahas delik demi delik guna pencerdasan dan memberi pemahaman kepada kita semua. Pertama, Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 berbunyi:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Adapun unsur delik yang terdapat dalam pasal tersebut antara lain:
  1. Setiap orang
  2. Dilarang
  3. Dengan sengaja
  4. Di muka umum
  5. Menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum,
  6. Melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
          Dari unsur delik tersebut, haruslah terpenuhi seluruh poin tersebut barulah suatu perbuatan bisa dikatan sebaga perbuatan pidana yang dalam hal ini ialah penistaan agama. Dalam kasus a quo pada unsur delik poin ke-5 yang terpenuhi adalah unsur “menceritakan” dilihat dari cara penyampaian yang dilakukan oleh BTP, dan/atau unsur “mengusahakan dukungan umum” dilihat dari kalimat pertama yang diucapkan oleh BTP yakni “…jangan percaya sama orang…”. sedangkan pada unsur delik poin ke-6 yang bisa disangkakan adalah unsur “melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia”. Namun saya rasa unsur pada poin ke-6 ini membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.

Sedangkan pasal lain yang berkenaan dengan penistaan agama yakni Pasal 156a KUHP yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.       Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b.      Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari Pasal 156a KUHP tersebut mengandung unsur delik antara lain:
1.    Barang siapa
2.    Dengan sengaja
3.    Di muka umum
4.    Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
5.  Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia ATAU dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari kelima unsur delik tersebut, pada unsur delik poin ke-4 yang terpenuhi secara penuh baik unsur “mengeluarkan perasaan” maupun unsur “melakukan perbuatan”, sedangkan pada unsur delik poin ke-5 unsur yang dapat disangkakan ialah seluruh unsur baik unsur “yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama yang dianut di Indonesia” maupun unsur “dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun lagi-lagi unsur delik pada poin ke-6 ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Kita lihat kembali dalam perkara a quo perlu pembuktian lebih lanjut atas pernyataan yang disampaikan oleh BTP tersebut, terutama pada bagian yang menjadi titik permasalahan antara lain pada bagian “jangan percaya sama orang”, “dibohongi”, dan “dibodohi”, dengan demikian proses penyelidikan dibutuhkan apakah pernyataan yang dikeluarkan oleh BTP merupakan perbuatan yang memenuhi unsur delik atau tidak.

Kenapa saya membuat tulisan ini mungkin juga menjadi sebuah pertanyaan, disaat teman-teman dan rekan bahkan beberapa akademisi semua mengatakan
“BTP gak salah”
“apaansih giliran agama yang lain gak dimasalahin”
“kemaren di daerah X ada walikota/gubernur nonis gak dibilang kafir”.

Saya tegaskan bahwa saya tidak membenarkan anarki yang dilakukan oleh oknum pada aksi kemarin, namun saya juga tidak menyalahkan apabila dalam sebuah aksi akhirnya terpaksa melakukan hal tersebut. Saya seorang mahasiswa tahu persis bagaimana geram nya ketika opini dan pendapat kita hanya dianggap receh dan remeh.

Disamping dugaan ada yang menunggangi atau tidak, jangan salahkan oknum yang menjadi anarki tapi salahkan proses hukum yang manja. Seorang nenek diduga mencuri sebongkah kayu langsung diproses, tapi kalau anak pejabat atau bahkan pejabat itu sendiri yang melakukan pidana, kenapa gak langsung di proses? Politik? Saya gak mengatakan BTP salah, siapapun belum berhak mengatakan demikian. Namun jika Indonesia memang negara hukum maka sudah sepatutnya untu menindaklanjuti sebagaimana hukum mengatur. Kenapa penegak hukum menunggu ada demo dulu? padahal bisa mencegah demo dengan menindaklanjuti memeriksa perkara, selidiki, dan tentukan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur delik atau tidak. di satu sisi saya berterimakasih kepada massa aksi yang melakukan demo pada hari kemarin, karena telah memberikan tamparan keras terhadap penegakkan hukum di Indonesia.

         karena hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit runtuh dan juga karena mendiamkan adalah sebuah pengkhianatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar