Nama : Bunga
Regina Putri
NPM : C1021511RB1014
Jurusan : S1 Ilmu Komunikasi
Dampak dari
pernyataan Ahok yang mengutip Al-Maidah ayat 51 semakin rumit. Beberapa
organisasi Islam menggelar aksi demonstrasi 4 November 2016 kemarin. Tuntutan
utama dari demonstrasi tersebut adalah adili dan penjarakan Ahok. Rencana
demonstrasi ini semakin menjadi aksi masif karena ketua FPI terus-menerus
mengajak dan menyerukan muslim diseluruh penjuru Indonesia untuk bergabung
dalam demonstrasi tersebut atas nama agama dan negara.
Aksi
demontrasi 4 November tersebut dimaknai secara beragam. Sebagian besar
masyarakat Indonesia khawatir dampak dari demonstrasi besar-besaran tersebut,
mengingat sudah banyak terjadi kasus kekerasan dan kerusuhan setelah
demonstrasi besar-besaran yang sebelumnya pernah terjadi. Kekhawatiran ini
sangat terasa, meskipun Rizieq sebagai ketua FPI telah mengatakan bahwa
demonstrasi ini tidak digelar dengan tujuan politik atau anti-Tiongkok. Akan
tetapi, banyak masyarakat Indonesia masih percaya bahwa demonstrasi ini
dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini semakin menambah variasi
respon masyarakat menjelang datangnya tanggal 4 November 2016.
Kekhawatiran
ini masuk akal, mengingat saat ini telah memasuki masa kampanye Gubernur DKI.
Dimana Ahok, sebagai tokoh sentral yang disasar demonstrasi ini adalah salah
satu kandidat calonan gubernur DKI. Artikel ini pada dasarnya ingin
mendiskusikan bagaimana demonstrasi di negara ini dimaknai sebagai bagian dari
proses demokrasi. Demokrasi memerlukan partisipasi masyarakat untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Hal ini sesuai dengan ide dasar demonstrasi yaitu
menyampaikan pendapat dan mengekspresikan ide-ide. Akan tetapi, fakta yang sangat
disayangkan adalah bahwa demonstrasi ni justru sebagian besar digunakan sebagai
alat untuk memaksakan kehendak tertentu kelompok tertentu massa, tanpa urgensi
dan validitas atas apa yang mereka klaim.
Demonstrasi
juga didefinisikan sebagai ekspresi kebebasan berpendapat, aspirasi dan kritik
dari kebijakan keadilan dengan tujuan untuk membela kebenaran. Oleh karena itu,
dalam bertindak, demonstran harus menunjukkan sikap kritis dengan cara yang
intelektual, elegan, dan bijaksana. Para demonstran harus menjunjung tinggi
prinsip-prinsip etika (sesuai norma), analisis (memahami akar masalah), dan
pernyataan kontributif sebagai masukan dan saran terhadap apa yang tidak
disetujui.
Mengingat
bahwa demonstrasi secara umum dilakukan dengan berbicara di depan publik, sudah
seharusnya demonstran menjunjung tinggi nilai, norma, budaya, dan etika bangsa.
Demonstran juga diharuskan mematuhi aturan-aturan hukum untuk mencegah
kerusakan yang tidak seharusnya dan kekacauan yang tidak perlu demi masyarakat,
bangsa, dan negara. Akan tetapi, fakta yang ditunjukkan kegiatan
demonstrasi-demonstrasi sebelumnya justru menunjukkan sebaliknya.
Perilaku-perilaku anarkis yang bertemu dengan tindakan represif aparat keamanan
justru menyisakan kehancuran dan kekacauan yang mendorong jatuhnya banyak
korban di akhir kegiatan.
Demonstrasi
pada dasarnya menjadi tindakan yang wajar di negara demokrasi seperti
Indonesia, sebagai konsekuensi sistem pemerintahan yang demokratis. Setiap
warga negara diberikan hak kebebasan berbicara dan memberikan kritik serta
masukan, bahkan terhadap kebijakan presiden. Kebebasan untuk menyampaikan
pendapat harus mengandalkan etika dan sopan santun. Hal ini bukan berarti bahwa
atas nama demokrasi maka semua orang bisa turun ke jalan untuk melakukan tindakan
anarkis, mengganggu lalu lintas, dan merusak kepentingan umum dengan
menyanyikan lagu kebenaran dan keadilan.
Dari uraian
di atas, dapat diperoleh pemahaman penting bahwa demonstrasi adalah salah satu
bentuk refleksi dari sistem demokrasi. Oleh karena itu, sebagai warga negara,
kita harus memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang benar, bahkan kita
harus mengembangkan semangat mengkritik kebijakan pemerintah selama itu adalah
kebutuhan nyata dan tidak mencederai demokrasi dengan melakukan demonstrasi
tanpa tahu tujuan di balik itu.
Opini
Publik tentang demo 4 November 2016 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum,
kalimat tersebut secara tegas dan jelas tertera pada Pasal 1 ayat (3) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sudah menjadi konsekuensi dari
pasal tersebut bahwa Indonesia harus menjunjung tinggi kepastian hukum dan
supremasi hukum. Hal ini terkait dengan pembicaraan dan perdebatan yang terjadi
baik di masyarakat maupun di media sosial perihal dugaan penistaan agama yang
pada akhirnya bertitik puncak pada hari Jumat, 4 November 2016 di Ibukota
Jakarta.
Sayangnya opini publik yang terjadi sangatlah keluar dari
konteks inti akar permasalahan, permaslaahan yang terjadi bukanlah perihal mayoritas
atau minoritas yang ada di Indonesia, bukan permasalahan perpecahan
atau persatuan Indonesia, juga bukan permasalahan kepentingan politik segelintir
pihak. Karena permasalahan yang sebenarnya sedang terjadi adalah perihal dugaan
perbuatan pidana. Namun sayangnya dugaan perbuatan pidana tersebut dilakukan
oleh sosok yang tengah disorot oleh jutaan mata masyarakat Indonesia.
Saya bukannya sok pintar atau sok akademis, saya mencoba
mengambarkan bagimana pandangan saya sebagai mahasiswa fakultas hukum. Saya
mencoba mengkaji peraturan perundang-undangan terkait, ada beberapa hal yang
perlu dipahami dan digaris bawahi bersama ialah perkataan yang dikatakan oleh
BTP secara lengkap ialah:
Jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil
bapak/ibu tidak bisa pilih saya, ya kan karena dibohongin pakai surat
Al-Maidah:5 macem-macem itu, itu hak bapak/ibu ya, jadi kalau perasaan, gabisa
pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gapapa
karena itu panggilan pribadi bapak/ibu
Adapun
perbuatan pidana yang disangkakan nyatanya telah diatur dalam Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama yang selanjutnya disebut UU No.1/PNPS/1965. Dalam UU No.1/PNPS/1965 juga
menambahkan satu buah pasal kedalam KUHP yakni Pasal 156a. sehingga pada
akhirnya terdapat 2 buah peraturan perundang-undangan yang menyinggung mengenai
tindak pidana penistaan agama baik didalam maupun diluar KUHP.
Sebagai mahasiswa fakultas hukum saya mencoba menjabarkan
unsur delik dari perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana tersebut akan
kita bahas delik demi delik guna pencerdasan dan memberi pemahaman kepada kita
semua. Pertama, Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 berbunyi:
Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia
atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Adapun unsur delik
yang terdapat dalam pasal tersebut antara lain:
- Setiap orang
- Dilarang
- Dengan sengaja
- Di muka umum
- Menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum,
- Melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Dari
unsur delik tersebut, haruslah terpenuhi seluruh poin tersebut barulah suatu
perbuatan bisa dikatan sebaga perbuatan pidana yang dalam hal ini ialah
penistaan agama. Dalam kasus a quo pada unsur delik poin ke-5 yang
terpenuhi adalah unsur “menceritakan” dilihat dari cara penyampaian
yang dilakukan oleh BTP, dan/atau unsur “mengusahakan dukungan umum”
dilihat dari kalimat pertama yang diucapkan oleh BTP yakni “…jangan percaya
sama orang…”. sedangkan pada unsur delik poin ke-6 yang bisa disangkakan
adalah unsur “melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia”. Namun saya rasa unsur pada poin ke-6 ini membutuhkan
penyelidikan lebih lanjut.
Sedangkan
pasal lain yang berkenaan dengan penistaan agama yakni Pasal 156a KUHP yang
berbunyi:
“Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.
Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b.
Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari
Pasal 156a KUHP tersebut mengandung unsur delik antara lain:
1.
Barang siapa
2.
Dengan sengaja
3.
Di muka umum
4.
Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
5. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia ATAU dengan maksud
agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dari
kelima unsur delik tersebut, pada unsur delik poin ke-4 yang terpenuhi secara
penuh baik unsur “mengeluarkan perasaan” maupun unsur “melakukan
perbuatan”, sedangkan pada unsur delik poin ke-5 unsur yang dapat
disangkakan ialah seluruh unsur baik unsur “yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama yang dianut di Indonesia”
maupun unsur “dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun
juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun lagi-lagi unsur
delik pada poin ke-6 ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Kita lihat
kembali dalam perkara a quo perlu pembuktian lebih lanjut atas
pernyataan yang disampaikan oleh BTP tersebut, terutama pada bagian yang
menjadi titik permasalahan antara lain pada bagian “jangan percaya sama
orang”, “dibohongi”, dan “dibodohi”, dengan demikian proses penyelidikan
dibutuhkan apakah pernyataan yang dikeluarkan oleh BTP merupakan perbuatan yang
memenuhi unsur delik atau tidak.
Kenapa saya membuat tulisan ini mungkin
juga menjadi sebuah pertanyaan, disaat teman-teman dan rekan bahkan beberapa
akademisi semua mengatakan
“BTP gak salah”
“apaansih giliran agama yang lain gak dimasalahin”
“kemaren di daerah X ada walikota/gubernur nonis gak dibilang kafir”.
“BTP gak salah”
“apaansih giliran agama yang lain gak dimasalahin”
“kemaren di daerah X ada walikota/gubernur nonis gak dibilang kafir”.
Saya tegaskan bahwa
saya tidak membenarkan anarki yang dilakukan oleh oknum pada aksi kemarin,
namun saya juga tidak menyalahkan apabila dalam sebuah aksi akhirnya terpaksa
melakukan hal tersebut. Saya seorang mahasiswa tahu persis bagaimana geram nya
ketika opini dan pendapat kita hanya dianggap receh dan remeh.
Disamping
dugaan ada yang menunggangi atau tidak, jangan salahkan oknum yang menjadi
anarki tapi salahkan proses hukum yang manja. Seorang nenek diduga mencuri
sebongkah kayu langsung diproses, tapi kalau anak pejabat atau bahkan pejabat
itu sendiri yang melakukan pidana, kenapa gak langsung di proses? Politik? Saya
gak mengatakan BTP salah, siapapun belum berhak mengatakan demikian. Namun jika
Indonesia memang negara hukum maka sudah sepatutnya untu menindaklanjuti
sebagaimana hukum mengatur. Kenapa penegak hukum menunggu ada demo dulu?
padahal bisa mencegah demo dengan menindaklanjuti memeriksa perkara, selidiki,
dan tentukan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur delik atau tidak. di satu
sisi saya berterimakasih kepada massa aksi yang melakukan demo pada hari
kemarin, karena telah memberikan tamparan keras terhadap penegakkan hukum di
Indonesia.
karena
hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit runtuh dan juga karena mendiamkan
adalah sebuah pengkhianatan.